Senin, 17 Februari 2014

Jadilah Orang Gila


“Jangan lupa hari senin, fahmina akan mengadakan kursus cas cis cus,” sms dari mbak Ida sabtu sore saya terima.“Iya. Kita sama-sama belajar ‘was was’ entar.” Begitu saya membalasnya. Saya memang salah satu orang yang merasa gagal dalam membangun rasa pede soal bahasa. Bayangkan saja, saya pernah kursus bahasa Inggris selama setahun dan alhamdulillah menguasai dua bahasa; bahasa madura dan indonesia. Jangan tanya, terus bahasa inggrisnya gemana? Karena sejak saya kursus, saya menyebutnya bahasa linggis. Linggis? Karena membuatku mumet menghafal kata perkata untuk memaknai sebuah bahasa orang.

Sejak awal memang saya berpikir bahwa belajar bahasa inggris adalah upaya mendalami kata perkata. Karena sebuah bahasa, demikian saya berpikir, tidak lebih dari permainan kata. Tapi uniknya, walau saya berpikir begitu, sampai detik ini tak satupun kamus yang aku tulis. Jangankan nulis kamus, kosa katanya saja masih tidak lebih dari sepuluh jari.

Tapi apa yang saya temui di fahmina seharian ini (17/2/14) mengubah cara pandangku seratus delapan puluh persen kurang sedikit. Batu bata tembok ketidak pedean satu persatu runtuh akibat linggis mas Hasan, “belajar bahasa orang adalah belajar budaya”. Kalimat ini menepuk jidatku setidaknya dengan tiga ketukan. Pertama, sebagai budaya bahasa harus didekati bukan arti kata perkata tetapi ada makna baru yang ditimbulkan dari lingkungan dimana bahasa itu dibentuk. Sehingga terkadang suatu kata tidak memiliki arti sesuai dengan makna aslinya.

Kedua, belajar bahasa orang adalah belajar mengetahui dan memaklumi diri sendiri. Bahwa bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu yang diajarkan dari sejak kecil. Tentu saja, pengucapan dan bahkan dialeknya beda dengan bule. Namun sebuah bahasa dibuat agar diikuti segalanya melainkan sebagai alat komunikasi. Terus terang, beberapa orang masih merasa minder ketika belajar bahasa asing karena seolah-olah harus sama, khususnya pengucapannya dengan pemilik bahasa tersebut. Padahal pengucapan orang perorang belum tentu sama sekalipun satu etnis, apalagi bagi orang yang beda negara dimana. Pengucapan orang cadel tetap tidak menjadi masalah bagi pendengar karena bukan pengucapannya yang diutamakan tetapi dimengerti. Tapi itu, dalam bahasa inggris banyak kosa kata yang pengucapannya mirip. Disini diperlukan kehati-hatian dalam berbicara. Mungkin.

Bahasa inggris yang tidak diajarkan sejak balita, tentu bahasa itu sangat asing bagi kita. Inilah yang ketiga. Bahwa kita harus siap-siap diri untuk ditertawakan dan dianggap gila, baik oleh diri sendiri atau orang lain. Pada point ketiga inilah yang membuat kelas fahmina tadi ramai luar biasa. Yang satu menjerit di pojok, yang lain bibirnya ke barat ke timur gak karuan karena ingin menyamakan pengucapannnya dengan si bule, eh mas hasan maksudnya. Ada yang tiduran di lantai sambil bergumam, ada juga berbiacara sambil bercermin lalu serentak tertawa ketika melihat bibir tidak elok dilihat sekalipun memakai sedotan bengkok. Ampun deh.

Menariknya, mas Hasan tidak hanya memberikan materi bahasa inggris tapi motivasi yang jitu dan menjulang sehingga gumpalan magma kepedean mengalir deras dari para peserta. (Semoga telinga mas Hasan tidak segera berkembang biak gara-gara dipuji.) Namun itu, kepedean teman-teman memang mengalir deras tapi lebih cepat keringat dingin mengucur ketika kang Faqih uji coba bahasa para cas cis cus. YES I CAN!!!!!!!

Mugu Muiz

3 komentar:

  1. Ini "Gila" menurut orang, tapi sesungguhnya "sedang fokus". Muiz, saya tagih "gila" mu dalam berbahasa Inggris ya....

    BalasHapus
  2. "You Crazy"dari dulu keleeee...ha..aha..ha..

    BalasHapus
  3. Ya kadang jadi gilu itu perlu dalam menggapai keinginan. Gila dalam arti positif berarti berbeda dengan cara yang dilakukan orang lain. Boleh dikatakan cara yang tidak biasa atau tidak lumrah. Tapi jangan sampai gila beneran ya..

    BalasHapus