“Jangan lupa hari senin, fahmina akan mengadakan kursus cas cis cus,” sms dari mbak Ida sabtu sore saya terima.“Iya. Kita sama-sama belajar ‘was was’ entar.” Begitu saya membalasnya. Saya memang salah satu orang yang merasa gagal dalam membangun rasa pede soal bahasa. Bayangkan saja, saya pernah kursus bahasa Inggris selama setahun dan alhamdulillah menguasai dua bahasa; bahasa madura dan indonesia. Jangan tanya, terus bahasa inggrisnya gemana? Karena sejak saya kursus, saya menyebutnya bahasa linggis. Linggis? Karena membuatku mumet menghafal kata perkata untuk memaknai sebuah bahasa orang.
Sejak awal memang saya berpikir bahwa belajar bahasa
inggris adalah upaya mendalami kata perkata. Karena sebuah bahasa, demikian
saya berpikir, tidak lebih dari permainan kata. Tapi uniknya, walau saya
berpikir begitu, sampai detik ini tak satupun kamus yang aku tulis. Jangankan nulis
kamus, kosa katanya saja masih tidak lebih dari sepuluh jari.
Tapi apa yang saya temui di fahmina seharian ini
(17/2/14) mengubah cara pandangku seratus delapan puluh persen kurang sedikit.
Batu bata tembok ketidak pedean satu persatu runtuh akibat linggis mas Hasan, “belajar
bahasa orang adalah belajar budaya”. Kalimat ini menepuk jidatku setidaknya
dengan tiga ketukan. Pertama, sebagai budaya bahasa harus didekati bukan
arti kata perkata tetapi ada makna baru yang ditimbulkan dari lingkungan dimana
bahasa itu dibentuk. Sehingga terkadang suatu kata tidak memiliki arti sesuai
dengan makna aslinya.
Kedua, belajar bahasa orang adalah
belajar mengetahui dan memaklumi diri sendiri. Bahwa bahasa Inggris bukanlah
bahasa ibu yang diajarkan dari sejak kecil. Tentu saja, pengucapan dan bahkan
dialeknya beda dengan bule. Namun sebuah bahasa dibuat agar diikuti segalanya
melainkan sebagai alat komunikasi. Terus terang, beberapa orang masih merasa
minder ketika belajar bahasa asing karena seolah-olah harus sama, khususnya
pengucapannya dengan pemilik bahasa tersebut. Padahal pengucapan orang perorang
belum tentu sama sekalipun satu etnis, apalagi bagi orang yang beda negara
dimana. Pengucapan orang cadel tetap tidak menjadi masalah bagi pendengar
karena bukan pengucapannya yang diutamakan tetapi dimengerti. Tapi itu, dalam
bahasa inggris banyak kosa kata yang pengucapannya mirip. Disini diperlukan
kehati-hatian dalam berbicara. Mungkin.
Bahasa inggris yang tidak diajarkan sejak balita, tentu
bahasa itu sangat asing bagi kita. Inilah yang ketiga. Bahwa kita harus
siap-siap diri untuk ditertawakan dan dianggap gila, baik oleh diri sendiri
atau orang lain. Pada point ketiga inilah yang membuat kelas fahmina tadi ramai
luar biasa. Yang satu menjerit di pojok, yang lain bibirnya ke barat ke timur
gak karuan karena ingin menyamakan pengucapannnya dengan si bule, eh mas hasan
maksudnya. Ada yang tiduran di lantai sambil bergumam, ada juga berbiacara
sambil bercermin lalu serentak tertawa ketika melihat bibir tidak elok dilihat
sekalipun memakai sedotan bengkok. Ampun deh.
Menariknya, mas Hasan tidak hanya memberikan materi
bahasa inggris tapi motivasi yang jitu dan menjulang sehingga gumpalan magma
kepedean mengalir deras dari para peserta. (Semoga telinga mas Hasan tidak segera
berkembang biak gara-gara dipuji.) Namun itu, kepedean teman-teman memang
mengalir deras tapi lebih cepat keringat dingin mengucur ketika kang Faqih uji
coba bahasa para cas cis cus. YES I CAN!!!!!!!
Mugu Muiz